EIGENDOM (EIGENDOMRECHT)

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Selamat datang di blog saya, perkenalkan nama saya Abdul Mushawwir, biasa dipanggil Shawwir. Jadi blog saya akan membahas mengenai pertanahan di Indonesia baik secara administratif maupun secara undang-undang yang berlaku di Indonesia. Update Blog ini Insyaallah setiap hari Sabtu dan Minggu saja. Terimakasih 🙏
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatu.
Salam sejahterah untuk
kita semua, semoga dalam situasi covid 19 ini kita selalu sehat dan dalam
lindunga-Nya.
Puji syukur
penulis haturkan kepada
Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan dan merampungkan bahan ini sehingga penulis dapat
mempublish hasil penelusuran ini kedalam karya tulis.
Kali
ini saya ingin membahas dan mempubliskan Sejarah dan Undang – Undang Pokok
Agraria yang biasa disingkat dengan (UUPA), karena pentingnya kita mengetahui
aturan mengenai seputar tanah agar pembahasan selanjutnya lebih terarah dan
jelas subjek serta objeknya.
Dalam
hal ini banyak orang yang menganggap permasalahan tanah itu susah, namun pada dasarnya untuk pemecahan suatu akar
pokok peremasalahan seputar agraria itu sendiri sudah banyak bisa kita temui
solusinya, salah satunya yang perlu kita pahami dulu adalah aturan yang berlaku
terkait seputar tanah, oleh karena itu pentingnya kita untuk mengetahui aturan
terkait permasalahan di agraria itu sendiri, sehingga tidak timbul multi tafsir
dalam menyelesaikan pokok permasalahan yang kita hadapi dalam permaslahan kelak
apabila kita diperhadapkan dalam masalah tersebut.
Kebanyakan
kita baru mau mempelajari suatu hal apabila kita mengalami suatu masalah
khususnya dibidang tanah, sehingga timbul rasa ingin tahu bagaimana cara untuk
mencari solusi dalam masalah yang kita hadapi, namun saran saya alangkah
baiknya kita mempelajarinya dahulu aturanya sehingga kelak apabila kita
dipehadapkan dalam suatu urusan ada dasar yang menjadi acuan kita.
Adapun
sejarah singkat lahirnya Undang – Undang Pokok Agraria Tahun 1960 setelah reformasi
kemerdekaan Indonesia berbenah diri dan menyelesaikan pengelolaan tanah, dasar
hukum pertanahan yang dikenal saat ini dengan Kementerian Agraria Dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau biasa disingkat (ATR/BPN) yang masih
menggunakan hukum kolonial belanda mulai berganti dengan Undang – Undang dasar
1945, langkah awal Indonesia melakukan perbenahan untuk mempersiapkan dasar hukum Agraria dalam
Depatemen Dalam Negeri yang tetap pada acuan Undang – Undang Dasar 1945, pada
tahun 1948 berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, pemerintah
membentuk panitia Agraria di Yogyakarta, setelah kurang lebih tiga Tahun
setelah terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 yang menjadi cikal bakal
pembentukan panitia baru dijakarta sekaligus membubarkan Panitia Agraria di
Yogyakarta. Pembentukan panitia baru dijakarta itu sebagai awal untuk
mempersiapkan Undang – Undang Pokok Agraria yang sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia.
Melalui
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementrian Agraria
yang berdiri sendiri dan tidak dinaungi lagi oleh Departemen Dalam Negri, pada
Tahun 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 dibentuklah
Panitia Negara Urusan Agraria di Yogyakarta yang membubarkan Panitia Agraria
Jakarta, tugas Panitia Urusan Agraria ini adalah mempersiapkan draft penyusunan
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pada
Hari Jum’at tanggal 1 juni 1957 Panitia Negara Urusan Agraria selesai
merampungkan draft rancangan UUPA, setalah itu berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 190 Tahun 1957, posisi Pendaftaran Tanah yang awalnya di Kementrian
Kehakiman dipindahkan ke Kementrian Agraria. Di tahun 1958 berdasarkan
keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria
dibubarkan setalah itu pada hari Kamis tanggal 24 bulan April Tahun 1958
rancangan Undang Undang Pokok Agraria diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam
sidang Pleno sebanyak 3 kali diadakan pemeriksaan pendahuluan, yang dengan
suara bulat Dewan Perwakilan Rakyat menerima draft Undang – Undang Pokok
Agraria. Pada Hari Sabtu 24 September Tahun 1960 rancangan draft Undang – Undang Pokok Agraria akhirnya
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat lalu disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Ir.H.Soekarno menjadi Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA).
PERTAMA
Bab
I
DASAR-DASAR
DAN KETENTUAN- KETENTUAN POKOK
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini .
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah- daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak- hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Pasal 4
(1) Atas dasar hak menguasai
dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3)
Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang
angkasa.
Pasal 5
Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Pasal 6
Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7
Untuk
tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 8
Atas
dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur
pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9
(1) Hanya warganegara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan
pasal 2.
(2) Tiap-tiap warganegara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah
serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 10
(1)
Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri
secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2)
Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan perundangan.
(3)
Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan.
Pasal 11
(1) Hubungan hukum antara orang,
termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan
masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak
bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomis lemah.
Pasal 12
(1) Segala usaha bersama dalam
lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan
nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong- royong lainnya.
(2) Negara dapat bersama-sama
dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan agraria.
Pasal 13
(1) Pemerintah berusaha agar
supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang
sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya
usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi- organisasi dan perseorangan
yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam
lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk
memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan, dalam
usaha-usaha di lapangan agraria.
Pasal 14
(1) Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta
pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :
a. untuk keperluan Negara;
b. untuk keperluan peribadatan
dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat
kehidupann masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan
memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
e. untuk keperluan
memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum
tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan- peraturan yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3)
Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini
berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden,
Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah
Tingkat III dari Bupati/ Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15
Memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Bab II
HAK-HAK ATAS
TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH
Bagian I
Ketentuan-ketentuan umum
Pasal 16
(1) Hak-hak atas tanah sebagai
yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah :
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang
angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah :
a.
hak guna-air,
b.
hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan
dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)
diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu
hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum
termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di
dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum
termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan
perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 18
Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Bagian II Pendaftaran Tanah
Pasal 19
(1)
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a.
pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3)
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah
diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat
(1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Bagian III Hak Milik
Pasal 20
(1)
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2)
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21
(1) Hanya warganegara Indonesia
dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah
berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat
atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia
yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang- undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak
dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat
(3) pasal ini.
Pasal 22
(1) Terjadinya hak milik menurut
hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena :
a. penetapan Pemerintah,
menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang.
Pasal 23
(1) Hak milik, demikian pula
setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam
ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta
sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24
Penggunaan
tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 25
Hak milik dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 26
(1) Jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan- perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2),
adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27
Hak milik hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan hak
berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya ;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
Bagian IV
Hak guna-usaha
Pasal 28
(1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2) Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29
(1)
Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2)
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3)
Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun.
Pasal 30
(1) Yang dapat mempunyai hak
guna-usaha ialah :
a.
warganegara Indonesia;
b.
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
(2) Orang atau badan hukum yang
mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang
tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika
ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut
ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna usaha terjadi
karena penetapan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Hak guna usaha, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak
tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat
(1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak
guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 33
Hak guna usaha
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 34
Hak guna usaha
hapus karena :
a.
jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
c.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.
dicabut untuk kepentingan umum;
e.
diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g.
ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Bagian V
Hak guna
bangunan
Pasal 35
(1) Hak guna bangunan adalah hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak
dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu
tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
(3)
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 36
(1) Yang dapat mempunyai hak
guna bangunan ialah :
a. warganegara Indonesia;
b.
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
(2)
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka
waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna
bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu
tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain akan diindahkan, menurut ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Hak
guna bangunan terjadi :
a.
mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan Pemerintah;
b.
mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna
bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak
tersebut.
Pasal 38
(1) Hak guna bangunan, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak
tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam
ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna
bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 39
Hak
guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40
Hak guna bangunan hapus
karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b.
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.
dicabut untuk kepentingan umum;
e.
diterlantarkan;
f.
tanahnya musnah;
g.
ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
Bagian VI Hak pakai
Pasal 41
(1) Hak pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan :
a.
selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan yang tertentu;
b.
dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak
boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42
Yang
dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. warga negara Indonesia;
b.
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43
(1) Sepanjang mengenai tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada
pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang.
(2) Hak pakai atas tanah milik
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam
perjanjian yang bersangkutan.
Bagian VII
Hak sewa untuk
bangunan Pasal 44
(1) Seseorang atau suatu badan
hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah
milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa.
(2) Pembayaran uang sewa dapat
dilakukan :
a. satu kali atau pada
tiap-tiap waktu tertentu;
b.
sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
(3)
Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh
disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 45
Yang
dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a.
warganegara Indonesia;
b. orang asing yang
berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
Bagian VIII
Hak membuka
tanah dan memungut hasil hutan
Pasal 46
(1) Hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan mempergunakan hak
memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik
atas tanah itu.
Bagian IX
Hak guna air,
pemeliharaan dan penangkapan ikan
Pasal 47
(1) Hak guna air ialah hak
memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas
tanah orang lain.
(2) Hak guna air serta
pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian X
Hak guna ruang
angkasa
Pasal 48
(1)
Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan
unsur- unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
(2)
Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XI
Hak-hak tanah
untuk keperluan suci dan sosial
Pasal 49
(1)
Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi.
Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(2)
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud
dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan
hak pakai.
(3)
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain
Pasal 50
(1) Ketentuan-ketentuan lebih
lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih
lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk
bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik,
hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur
dengan Undang-undang.
Bab III
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 52
(1) Barang siapa dengan sengaja
melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
(2) Peraturan Pemerintah dan
peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26 ayat (1), 46,
47, 48, 49 ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas
pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
(3) Tindak pidana dalam ayat (1)
dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
Bab IV
KETENTUAN-KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 53
(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
(2) Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 54
Berhubung
dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Republik
Rakyat Tiongkok telah menyatakan menolak kewarganegaraan Republik Rakyat
Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia
dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).
Pasal 55
(1) Hak-hak asing yang menurut
Ketentuan Konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak
guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut,
dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2) Hak guna usaha dan hak guna
bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum
yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang
mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai
tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya
mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan
yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 57
Selama
Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk,
maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam
S.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190.
Pasal 58
Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas
tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini serta diberi tafsiran sesuai dengan itu.
KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN
KONVERSI
Pasal I
(1)
Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang
ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas.
(3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun
(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6)
Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang
membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut
dalam ayat (1) dan (3) pasal ini,
sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.
Pasal II
(1) Hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20
ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerinjbezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak- hak lain dengan nama apapun juga yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali
jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat
(1) kepunyaan orang asing, warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan
asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud
dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai
dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.
Pasal III
(1) Hak erfpacht untuk
perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1)
yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
(2) Hak erfpacht untuk pertanian
kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut
hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh
Menteri Agraria.
Pasal IV
(1) Pemegang concessie dan sewa
untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria
agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.
(2) Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3) Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang
ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak
guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa
waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama- lamanya 20 tahun.
Pasal VI
Hak-hak
atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang
dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di
bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak
vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,,
anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak- hak lain dengan nama apapun juga,
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang
memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal VII
(1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
(2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Pasal VIII
(1)
Terhadap hak guna bangunan tersebut pada pasal I ayat (3) dan (4),
pasal II ayat (2) dan pasal V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
(2)
Terhadap hak guna usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat
(1) dan (2) dan pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
KETIGA
Perubahan
susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria
menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
KEEMPAT
A.
Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau
bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini
hapus dan beralih kepada Negara.
B.
Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam huruf A di
atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
KELIMA
Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar